Manusia Dipegang Talinya,  Binatang Dipegang Janjinya

Estimated read time 3 min read

Jujur saja untuk pilpres kali ini rasa khawatirku bertambah pasca gonjang ganjing semarak pendukung capres. Sebagai orang yang mengalami zaman orde baru jujur  aku khawatir .  kecambah sepertinya akan terulang keburatalan itu mulai terasa ini. Intensitas pembohongan, putar balik fakta, maling teriak maling, Hoak bertebaran demi kekuasaan . menyaksikan mereka ini era  Manusia Dipegang Talinya Binatang Dipegang Janjinya.

Kini bagi rakyat jelata  semakin sulit membedakan mana yang benar dan hoak di media social. Di beberapa media semakin tidak terkontrol penyebaran info, potong memotong hingga sambung video seakan memaksa otak harus diforsir untuk menyaring.  Memandangi kondisi yang terjadi sepertinya lebih terjamin  percaya pada janji seekor binatang daripada  manusia . kini menjadimin masnusia dengan memegang talinya.   

Zaman ini sebahagian manusia lebih dipercayai jika kasus atau rahasianya ditangan. Manusia yang tercucuk hidungnya tidak lebih dari seekor kerbau.  Jadinya teringat seorang politikus mengajak sejumlah kepala desa happy happy ke kota besar.  Mereka dimanjakan dengan minuman dan pelacur. Tinggal foto maka saat dekat pemilihan tinggal ancam dengan foto mesumnya. Tidak hanya terjamin bahkan uang dana desanyapun distel untuk pemenangan penguasa. Kini penguasa licik berlomba ikatkan tali di leher manusia dan tudak lagi di leher binatang.

Entahlah ada orang orang di negeri ini menyebabkan mual .  Kata drakor kini menggelora yang dipolpulerkan Jokowi. Kata itu juga dijawab Ganjar di pencabutan nomor peserta capres. Jujur saja rakyat bisa menilai siapa sebenarnya pemain drama kotor dinegeri ini tetapi memilih diam saja karena khawatir “diordebarukan”. 

Merasakan  kondisi terakhir negeri ini baru kutahu jawabnya mengapa perfilman Hollywood menyerahkan penghargaan sutradara terbaik dalam film film . Tenyata  sutradara kunci  ibarat seorang raja yang suka sukanya memainkan atau stop  actor . seorang actor  hanya punya satu peran namun sutradara harus menguasai ilmu  menjadi pahlawan, disukai , licik, culas , bengis hingga menjijikkan.

Senada dari semua itu pemimpin yang benar , penguasa yang tulus dan amanah sudah sangat sulit didapatkan. Yang banyak pemain sinetron dengan pencitraan gendong anak anak publish medsos. Oleskan sedikit balsem di mata agar terlihat memerah saat melayat ke tempat duka. Peluk lansia dan rajinlah hadiri pesta.  Gaya itu akan menarik simpati rakyat.

Pura pura baik Foto foto dengan anak sekolah meski berikutnya panggil kepsek diminta pengertian hingga kepsek potong dana BOS menutupi permintaan. Demikian seterusnya  hak orang miskin dijadikan senjata mematikan agar mengikuti seleranya seperti BLT, Bedah Rumah dan program social lainnya.

Orang yang dididik dengan kesusahan akan jauh lebih survive dan punya kepekaan. Sebaiknya anak yang dibesarkan dengan keju dan kemewahan biasanya akan sombong dan egois.  Maka buah jatuh tak jauh dari pohonnya tidak selamanya benar. Pepatah itu untuk buah yang matang di pohon. Jika masih mentah lantas dikarbit pepatah itu tidak berlaku.

Lihat saja contoh kecil di sekitar kita  berapa banyak  pejabat, pengusaha besar, politikus dan orang terkenal  berangkat dari nol harum namanya . Namun ketika anaknya berkiprah jauh berbeda , ada yang pecandu narkoba, pecandu ngibul, PHP dan koruptor  jauh berbeda dengan ayahnya. Jadi penentu kebaikan dan kepekaan itu lebih besar adalah proses pematangannya dan bukan karena factor gen dan turunannya. 

Pun demikian  jika ada orang mengidolakan pejabat karbitan , rela urat lehernya menyembul mendalilkan hal hal standart  yang tak menarik silahkan saja.  Itu hak dan kemerdekaan berpendapat. Baru baru ini dia baru merasakan sensasi  sepotong pizza.   Satire (Penulis Hendrik Situmeang)

Anda Mungkin Suka

Berita Lain

+ There are no comments

Add yours