Buya Hamka dalam syair puisinya menyebut kata kata pedas. Dubur ayam yang mengeluarkan telur jauh lebih mulai dari mulut orang yang selalu menjanjikan telur. Pemimpin tidak komit hanya menjadikan sekelilingnya sapi perahan. Kebanyakan janji dan begitu mudah melupakan teman persis “sirimbur rara” yang berpindah pindah pasangan . Dari sononya tidak beretika dan biasanya akan mati terkena penyakit kelamin.
Dalam propres pilpres saya melihat ada gejala demikian dari oknum. Menyembunyikan busuknya etika menyebut bagian dari strategi. Mental Menipu, berbohong , dan pendusta menyebut demi kemenangan. Pandai merangkai kata kata, memutar balik fakta dan wajah penuh sandiwara dan tiada malunya bersembunyi dibalik atribut. Sungguh setan berbaju manusia.
Dan tahukah siapa pemimpin paling parah? Sudah menang meniadakan perjuangan timnya. Menyebut pejuang sudah dibayar .Menikmati kerakusan dengan membuka peternakan sapi perah.
Dalam peternakan modern telah diatur sapi perah masa produktifnya 1 tahun. Sapi tidak dilepas di padang rumput namun disedikan makanan racik dikandangnya. Dengan posisi terikat begitu sang gembala tidak punya peri kemanusiaan lagi terus memeras susu sapi. Tidak ada aturan lagi susu disedot setiap butuh. Masalahnya kebutuhan sang gembala tidak ada habisnya.
Kini sapi sapi perah itu kurus kering , puting susunya memerah dan bernanah kebayakan disedot. Banyak sapi tidak kuat berdiri lagi. Setahun sapi sudah afkir lantas diganti dengan sapi lainya yang masih segar. Namanya sapi gobloknya minta ampun masih bangga jadikan sapi perah karena menilai bergengsi.
Mantan presiden Gusdur menyebut Keberhasilan pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam mensejahterakan umat yang mereka pimpin. Itu idealnya namun jangan lupa ada juga pemimpin brengsek menerapkan praktek penjajahan.
Jika jepang dulu mengeruk uang dari Indonesia, menjadikan rakyat romusha untuk membiayai perang dunia ke II. Kini sama ada pemimpin menjadikan stafnya sapi perahan untuk menutupi biaya oknum APH. Efeknya sama rakyat kelaparan, kemiskinan dan berikutnya penyakitan dan mati.
Berhati-hatilah terhadap pemimpin yang antara ucapannya dan tindakannya tidak pernah sesuai. Menjanjikan kesejahteraan rakyat nyatanya kesejahteraan keluarga. Bergaya merakyat tahankan peluk nenek nenek renta yang bau apek . Gendong anak kecil tahankan bau pesing hanya untuk pencitraan. Aslinya watak penjajahan rakyat dipaksa rodi, harta dikeruk dan dibawa ke negerinya. Tak perduli sekian banyak rakyat sakit, stroke, dan tewas saat kerja paksa. Tinggal kuburkan saja dengan tanah timbunan. Lantas pura pura pasang wajah sedih berduka.
Sungguh kunci dari kepemimpinan yang sukses adalah pengaruh, bukan wewenang. kapabilitas yang diwujudkan dalam kinerja yang terpuji. Kuncinya terpuji jadi kinerja bukan diukur dari pencitraan , merekayasa keberhasilan, membayar media untuk berhohong. Karena ada juga pemimpin menilai dengan mengoleksi penghargaan kertas dianggap sebagai kesuksesan. Padahal si Ingot Silaban pun tahu kalau banyak penghargaan bisa didapat dengan membelinya.
Ingat Konsekuensi mengabaikan janji tanpa sebab kelak akan diabaikan orang lain ketika sedang butuh. Sungguh hidup ini pahit bro Mencari massa saja belum mampu, mengapa sudah berani bergaya sampai membuang-buang teman. Itu semua karena mulutmu selalu menjanjikan telur padahal yang keluar hanya nafas berbau busuk tidak sikat gigi dan seharian tidak makan. Sungguh lebih mulia dubur ayam dari mulutmu. Satire (Penulis Hendrik)
+ There are no comments
Add yours